Duapuluh Mei, 105 tahun yang silam Boedi Oetomo berdiri. Kita
menyebutnya sebagai tonggak kebangkitan nasional, tapi mungkin itu hanya
ingatan yang mampir di saat tanggal 20 Mei itu tiba. Selebihnya lupa:
lupa pada apa yang pendiri Boedi Oetomo bayangkan tentang Indonesia
sekian puluh tahun ke depan—yang
notabene, sebagiannya, adalah tahun-tahun ketika kita hidup sekarang ini. Begitu pula dengan 17 Agustus—kita mungkin mengibarkan bendera sembari lupa untuk apa negeri ini diproklamasikan.
Kita mungkin juga tak pernah menengok apa yang dipikirkan oleh para perintis itu, mereka yang membuka jalan bagi lahirnya kita sebagai satu bangsa. Pikiran-pikiran tentang Indonesia yang merdeka dari kolonialisme, yang dimatangkan oleh Soekarno, Hatta, Sjahrir, Sjafruddin, Tan Malaka, Soedirman, dan banyak lagi. Bahkan, ketika kita hidup di tengah ketidakjelasan hendak kemana kita sebagai bangsa hendak menuju dan tatkala korupsi mengepung kita bagaikan awan hitam tebal yang mencekam.
Para pendiri bangsa itu adalah manusia berpolitik yang punya cita-cita perjuangan, tapi jelas bukan kuasa dan harta. Mereka bukanlah manusia berpolitik yang dengan gampang meloncat dari satu partai ke partai lain. Mereka bukanlah manusia berpolitik yang mengandalkan harta, melainkan idea dan cita-cita. Mereka punya pikiran beragam, tapi mereka sanggup bersatu, sebab mereka saling percaya punya cita-cita perjuangan yang sama. Tulisan-tulisan mereka menguatkan hal itu: perdebatan tentang idea tidak perlu menciutkan semangat kebersamaan.
Menyusuri kembali pikiran-pikiran mereka niscaya dapat menguatkan kembali apa yang kini tercecer, terserak, dan tak jelas arahnya. Di Bawah Bendera Revolusi menghimpun beragam pikiran Soekarno. Kita niscaya memperoleh api semangat dengan membaca kembali pikiran Soekarno muda tentang Indonesia yang ia cita-citakan dalam Indonesia Menggugat. Pidato pembelaan Soekarno di hadapan pengadilan kolonial di Bandung begitu menggemparkan penguasa kolonial dan menggelorakan bangsa ini—tapi mungkin kita sudah lupa.
Semangat Hatta yang memperjuangkan Indonesia Vrij di hadapan pengadilan kolonial di Den Haag bahkan mengguncang Eropa–entahlah, apakah kita masih mengingatnya. Juga kumpulan tulisannya yang berjili-jilid—Hatta seorang politikus yang prolifik dalam menorehkan pikirannya dengan tinta (sejenis makhluk yang amat langka bila kita mencarinya di antara kerumunan politikus zaman kini). Tentu saja, kita tak patut melupakan Demokrasi Kita, risalah yang ditulis Hatta setelah memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden ketimbang berkuasa dengan rasa bersalah.
Daftar buah pikir para pembuka jalan itu akan bertambah panjang bila kita masukkan nama-nama seperti Sjahrir (Perjuangan Kita, Renungan Indonesia), Tan Malaka (Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Massa Actie, dan lain-lain), HOS Tjokroaminoto (Islam dan Sosialisme), Mohammad Natsir (Capita Selecta), bahkan hingga generasi Soedjatmoko. Kepada mereka, di saat awan gelap mengepung seperti sekarang, kita bisa berpaling untuk mengingatkan diri perihal untuk apa bangsa ini dimerdekakan dan untuk apa negeri ini didirikan.
notabene, sebagiannya, adalah tahun-tahun ketika kita hidup sekarang ini. Begitu pula dengan 17 Agustus—kita mungkin mengibarkan bendera sembari lupa untuk apa negeri ini diproklamasikan.
Kita mungkin juga tak pernah menengok apa yang dipikirkan oleh para perintis itu, mereka yang membuka jalan bagi lahirnya kita sebagai satu bangsa. Pikiran-pikiran tentang Indonesia yang merdeka dari kolonialisme, yang dimatangkan oleh Soekarno, Hatta, Sjahrir, Sjafruddin, Tan Malaka, Soedirman, dan banyak lagi. Bahkan, ketika kita hidup di tengah ketidakjelasan hendak kemana kita sebagai bangsa hendak menuju dan tatkala korupsi mengepung kita bagaikan awan hitam tebal yang mencekam.
Para pendiri bangsa itu adalah manusia berpolitik yang punya cita-cita perjuangan, tapi jelas bukan kuasa dan harta. Mereka bukanlah manusia berpolitik yang dengan gampang meloncat dari satu partai ke partai lain. Mereka bukanlah manusia berpolitik yang mengandalkan harta, melainkan idea dan cita-cita. Mereka punya pikiran beragam, tapi mereka sanggup bersatu, sebab mereka saling percaya punya cita-cita perjuangan yang sama. Tulisan-tulisan mereka menguatkan hal itu: perdebatan tentang idea tidak perlu menciutkan semangat kebersamaan.
Menyusuri kembali pikiran-pikiran mereka niscaya dapat menguatkan kembali apa yang kini tercecer, terserak, dan tak jelas arahnya. Di Bawah Bendera Revolusi menghimpun beragam pikiran Soekarno. Kita niscaya memperoleh api semangat dengan membaca kembali pikiran Soekarno muda tentang Indonesia yang ia cita-citakan dalam Indonesia Menggugat. Pidato pembelaan Soekarno di hadapan pengadilan kolonial di Bandung begitu menggemparkan penguasa kolonial dan menggelorakan bangsa ini—tapi mungkin kita sudah lupa.
Semangat Hatta yang memperjuangkan Indonesia Vrij di hadapan pengadilan kolonial di Den Haag bahkan mengguncang Eropa–entahlah, apakah kita masih mengingatnya. Juga kumpulan tulisannya yang berjili-jilid—Hatta seorang politikus yang prolifik dalam menorehkan pikirannya dengan tinta (sejenis makhluk yang amat langka bila kita mencarinya di antara kerumunan politikus zaman kini). Tentu saja, kita tak patut melupakan Demokrasi Kita, risalah yang ditulis Hatta setelah memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden ketimbang berkuasa dengan rasa bersalah.
Daftar buah pikir para pembuka jalan itu akan bertambah panjang bila kita masukkan nama-nama seperti Sjahrir (Perjuangan Kita, Renungan Indonesia), Tan Malaka (Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Massa Actie, dan lain-lain), HOS Tjokroaminoto (Islam dan Sosialisme), Mohammad Natsir (Capita Selecta), bahkan hingga generasi Soedjatmoko. Kepada mereka, di saat awan gelap mengepung seperti sekarang, kita bisa berpaling untuk mengingatkan diri perihal untuk apa bangsa ini dimerdekakan dan untuk apa negeri ini didirikan.
0 komentar:
Posting Komentar